Sabtu, 29 Oktober 2016

Presiden Kampus

By: Lilih Muflihah

Mungkin kalau dihitung, sudah lebih dari tiga puluh orang yang berlalu lalang di depanku. Aku, Elin, dan Ika duduk termangu di pinggir serambi pintu masuk gedung D Fakultas Hukum, menunggu dosen pembimbing kami yang tak kunjung datang. Mungkin targetku untuk meyelesaikan skripsiku 2 bulan lagi bakal kandas karena sampai saat ini aku belum turun lapang. Dosen pembimbing kami cukup sibuk dengan berbagai kegiatan, aku maklum tapi tak terpikirkah ia memperhatikan skripsi kami sebentar saja.
Risa tampak keluar dari gedung menuju ke tempat kami duduk.

“Pak Sogi ke Jakarta, mungkin sebulan,” ucap Risa memberitahu. Ia memang lebih beruntung, pembuatan skripsinya bebas hambatan.

“Selamat Anda beruntung memiliki satu bulan kebebasan,” ucap Elin sambil menghela nafas panjang. Dia tampak kecewa sama sepertiku sedangkan Ika tak bergeming, raut wajahnya tak berubah.

“Tenang saja, kita masih punya kesempatan dua setengah tahun lagi untuk kuliah di sini,” ucap Ika santai.

Semua ini membuat kepalaku pusing, semua rencana yang telah kususun hanya tinggal harapan. Orangtuaku pasti akan kecewa kalau aku tak bisa menyelesaikan kuliahku tahun ini. Terus terang aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selama sebulan ini.
Kami sibuk dengan pikiran masing-masing, sunyi, tanpa perbincangan. Beberapa orang menempel selebaran di papan pengumuman di sebelah kiri kami duduk mengusik keingintahuanku lalu aku beranjak menuju papan pengumuman. Di sana tertulis pengumuman pendaftaran bagi calon presiden dan wakil presiden kampus yang baru. Entah darimana aku dapat ide, tiba-tiba ada keinginan untuk ikut serta. Hitung-hitung penyegaran sekaligus ikut berpartisipasi meramaikan suasana. Biarpun bukan calon presiden sebenarnya.

“Daripada kesal lebih baik kita ikut pencalonan presiden kampus saja. Lumayan untuk mengisi waktu,” ajakku pada mereka.

“Ide bagus. Kita berlima bisa jadi tim yang hebat. Aku mau jadi tim sukses,” tanggap Elin bersemangat kembali ceria.

“Untuk apa?” tanya Sari yang tanpa kusadari sudah berdiri di tempat kami berempat duduk.

“Untuk penyegaran aja,” jawabku singkat seraya tersenyum.

“ Rahma dan Risa sebagai calon presiden dan wakil presiden sedang aku, Ika, dan Sari menjadi tim sukses, bagaimana?” usul Elin.

“Aku tidak mau ikut, sebentar lagi aku ujian komprehensif,” terang Risa.

Aku pikir ini akan jadi permainan yang seru. Memang terlalu timpang jika aku dibandingkan dengan mereka. Risa yang cantik dan cerdas sangat pas sebagai pasanganku dalam pencalonan, Elin dan Sari yang memiliki bakat dagang dan Ika mempunyai banyak teman di kampus. Namun sayang, ia tak mau turut ambil bagian.

“ Masih banyak kegiatan lain.” Ujarnya dengan nada tinggi lalu beranjak pergi.

“ Uh, tidak setia kawan,” ucap Elin kesal.

“Risa, Sari awas kalau sampai ikut-ikutan Ika, aku tidak akan mau kenal kalian lagi.” Ancam Elin.

Risa tampak kesal karena terpaksa ikut rencana kami. Itulah Risa, sulit untuk mengatakan tidak pada Elin yang sudah ia kenal sejak kecil. Sedangkan Sari tanpa komando sudah menyusun sebuah rencana.

“Rahma dan Risa, kalau bisa besok langsung mendaftar. Jangan khawatir tentang visi dan misi, besok pagi aku kasih ke kalian. Elin, buat selebaran tentang mereka. Usahakan kita menarik hati teman-teman yang sering golput.” jelas Sari.

“Hei, jangan terlalu semangat, nanti kita bisa menang,” tegur Risa.

“Kalau menang berarti kita berhasil,” ucap Sari seraya tertawa sedang Risa tampak tegang. Aku dan Elin hanya tersenyum dan saling berpandangan.


***
Aku tidak menyangka kabar tentang keikutsertaan aku dan Risa dalam pencalonan menimbulkan kontroversi. Kami yang tidak memiliki pengalaman memimpin suatu organisasi berani mencalonkan diri. Beberapa mahasiswa sempat meragukan kami karena status sebagai mahasiswa semester akhir yang sedang menyusun skripsi bahkan seorang dosen menegurku. Aku maklum dengan semua reaksi itu, toh mereka tidak tahu tujuan kami sebenarnya.

“Apa sih maksud kamu mencalonkan diri? Sudah deh nggak usah neko-neko. Buruan selesaikan skripsimu biar cepat wisuda. Cari sensasi aja,” cerca Melda yang merupakan tim sukses pasangan Mezi dan Iwan.

“Wajar saja, dalam sebuah sistem demokrasi partisipasi politik itu penting. Sudahlah jangan khawatir, basis massa pendukung kami tidak jelas kok, “ ucapku santai.

Memang banyak orang yang kurang suka pencalonan ini namun tidak sedikit aku berjumpa dengan orang yang serta merta mengenal wajahku lalu menyapaku, hal yang sangat jarang mereka lakukan. Kami juga menjadi terkenal karena wajah-wajah kami terpampang di berbagai tempat. Sejujurnya aku sangat menikmati situasi ini.

Aku, Risa, Elin, dan Sari berjanji untuk bertemu di gedung A Fakultas Hukum, berencana membicarakan persiapan pidato kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden kampus. Kulihat dari kejauhan Risa berjalan cepat untuk menemuiku. Ia terlihat gugup tapi wajahnya merona.

“Aku dapat surat.” Ucapnya sambil memberiku sebuah amplop merah muda lalu aku membacanya.

BEGITU BANYAK BINTANG DI LANGIT
BANYAK PULA BINTANG YANG INDAH
BIARPUN ADA SEJUTA BINTANG
KAU TETAP YANG TERINDAH
DARI SESEORANG YANG MENGAGUMIMU,
ZIKO PRASETYO

Ini memang bukan pertama kali Risa mendapat surat cinta tapi mendapat surat cinta dari Ziko Prasetyo sungguh luar biasa, aku mengerti mengapa ia begitu panik karena sudah lama Risa menyimpan rasa padanya. Namun aku menangkap suatu keganjilan karena Ziko merupakan salah satu pesaing kami dalam pencalonan. Mungkinkah ia sedang merencanakan sesuatu atau memang jatuh cinta disaat yang kurang tepat?

Selama ini di kampus memang dikuasai dua kekuatan yang berasal dari organisasi ekstra kampus, kedua organisasi ini secara langsung maupun tak langsung mempengaruhi pergulatan politik organisasi internal kampus. Pencalonan kami seolah menjadi alternatif baru yang mungkin saja memecah dukungan mereka meskipun ada satu pasang kandidat lagi yang mungkin lebih berbahaya. Aku khawatir Ziko hanya memanfaatkan situasi.

“Bagaimana kalau aku ternyata jatuh cinta?” tanya Risa seolah aku tak tahu perasaannya.

“Tenang dong. Kayak baru pertama kali jatuh cinta saja. Yang jelas kamu harus menunda jawaban sampai pemilihan. Ini juga bisa sebagai pembuktian apakah ia benar cinta atau hanya strategi dia untuk menggoyangkan kita. Pokoknya setelah ini selesai kamu boleh deh terima lamaran si Ziko itu.” Ucapku setengah becanda.

Aku mencoba memahami perasaan Risa. Kuajak ia untuk duduk di tepi lantai lorong penghubung gedung A dan B. Angin sepoi-sepoi berhembus, pepohonan yang tumbuh di sekitar gedung cukup mujarab untuk menutupi sengatan matahari. Sesekali ia menghela nafas panjang dan mengembungkan pipinya, membuatku tertawa kecil.

“Hayo melamun,” teriak Elin mengagetkan kami.

“Kok nongkrong di fakultas orang?” tanyanya bercanda sembari duduk di sebelahku.

“Tidakkah kau menyadari ini juga bukan fakultasmu? Risa balik bertanya dengan kesal diikuti suara gelak tawa aku dan Elin.

“Sari masih di ruang baca FH, sebentar lagi ia kesini” ujar Elin memberitahu.

“Aku mau pulang,” pamit Risa tiba-tiba, ia bangkit dan berjalan pergi. Elin mencoba menghentikannya namun kucegah.

“Biarkan saja,” cegahku sambil mengamit tangan kanannya dan memberikan surat cinta untuk Risa yang sedari tadi kupegang. Elin membuka dan membaca surat itu kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Aku tidak tahu apa maksud tingkahnya itu.
***
Tarup sudah berdiri tegak di belakang gedung Rektorat, kursi-kursi pun sudah disusun rapi dan sound system pun sudah siap difungsikan. Empat pasang calon termasuk kami sudah hadir mengisi kursi-kursi yang ada di atas panggung, mahasiswa dan mahasiswi mulai berdatangan. Pembantu Rektor Bagian Kemahasiswaan pun sudah siap memberi sambutan. Kutangkap ekspresi gugup dari wajah Risa karena harus duduk bersebelahan dengan Ziko, pujaan hampir semua perempuan. Aku sempat memiliki perasaan khusus padanya, ia merupakan perpaduan yang pas antara fisik, otak, dan tingkah lakunya mungkin jika ada kontes ketampanan ia cocok menjadi kandidat Putra Indonesia.

Acara sudah dimulai, satu persatu para kandidat memberikan pidato kampanye. Mereka berbicara dengan percaya diri dan sistematis tentang visi, misi, dan program kerja yang begitu bagus. Mereka berbicara tentang perbaikan kualitas pendidikan di kampus, pemfungsian kembali fasilitas kampus, peningkatan peranan organisasi kemahasiswaan dan sebagainya. Sedangkan aku tidak banyak bicara dalam pidatoku.

“Kami akan menyatukan seluruh organisasi kemahasiswaan yang ada di kampus ini selain itu kami juga akan menggalakkan kembali diskusi ilmiah dikalangan mahasiswa.” Ucapku dengan suara lantang.

Para mahasiswa yang duduk di barisan depan tampak memperhatikan pidatoku tapi aku sangat terganggu dengan panitia yang membagikan air minum dan makanan saat aku berbicara. Aku jadi menduga mereka sengaja melakukannya.

“Menjadi mahasiswa bukan hanya sekedar untuk mendapat gelar sarjana atau mendapat kerja tapi di perguruan tinggi ini untuk mengasah kemampuannya, meningkatkan mental, dan membentuk kepribadian yang baik.” Lanjutku meneruskan pidato dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Aku memberikan kesempatan pada Risa untuk berpidato. Guratan khawatir terlihat di wajahnya yang sedikit pucat. Ia mengeluarkan selembar kertas lalu membacanya seperti membaca puisi.

“Segala perasaan dalam hati membangkitkan semangat. Segala ide dalam pikiran mengalirkan kekuatan. Kami di sini bukan untuk kekuasaan ataupun kepuasan. Kami bawa hati dan pikiran untuk memperoleh perbaikan yang lebih maju, bermartabat, dan bermanfaat. Pilih kami paket 2,” ucap Risa dengan mantap dan diikuti riuhnya tepuk tangan.

Sari sungguh berbakat dalam membuat konsep cemerlang, ia tahu bagaimana membuat orang lain terkesan dengan kalimat yang singkat namun penuh makna. Risa merona saat Ziko memuji pidatonya. Mungkin perasaannya terbang ke angkasa, terbuai ucapan sang pujaan namun ia harus kembali ke bumi karena Elin dan Sari mengajak kami ke samping gedung Rektorat setelah acara selesai.

“Ini keadaan darurat, aku sudah survei ke teman-teman dan sepertinya kita memiliki peluang yang cukup besar untuk menang,” jelas Sari.

“Kita mundur saja,” saran Risa.

“Tidak semudah itu, kita harus punya alasan yang jelas dan masuk akal untuk mengundurkan diri,” sanggah Elin.

Tak pernah terlintas dalam pikiranku kalau kami akan memenangkan pemilihan ini. Tidak ada alasan yang kuat bagi mereka untuk memilih kami yang tidak punya pengalaman memimpin. Aku bingung bagaimana nasib target wisudaku. Rasanya badanku akan roboh. Mengundurkan diri saat ini juga bukan jalan keluar karena sama saja membuka kedok keisengan kami lagipula aku tidak ingin jadi bahan cemooh teman-teman satu kampus. Elin dan Risa masih berdebat sengit tentang langkah apa yang selanjutnya harus diambil. Aku tidak mengerti dengan Sari disaat yang katanya darurat ini, ia masih sempat menerima panggilan dari ponselnya dan mengirim beberapa SMS entah kemana.
***
Sudah seminggu perutku tak kunjung sembuh, mungkin karena sering telat makan atau mungkin karena stres memikirkan pemilihan presiden dan wakil presiden kampus. Pak Sogi sudah kembali dari Jakarta, ia sudah memeriksa skripsiku dan memintaku untuk segera memperbaikinya. Risa tertunda ujian komprehensifnya karena dosen pengujinya dirawat di rumah sakit. Elin dan Ika sudah berbaikan dan sering terlihat bersama di perpustakaan. Sedangkan Sari sudah tiga hari ini ia tidak mengabari aku maupun sahabatnya yang lain.
Para mahasiswa sudah memenuhi tempat pemilihan presiden dan wakil presiden kampus sedari pagi. Beberapa orang panitia pemilihan mengecek kartu mahasiswa setiap pemilih. Aku berdiri di bawah pohon yang tidak jauh dari tempat pemilihan, mengamati setiap mahasiswa yang lalu lalang. Kumatikan ponsel karena begitu banyak panggilan masuk maupun SMS yang memberitahu perolehan sementara paket 2 yang mengguli kandidat lainnya. Risa yang baru saja tiba di kampus melihatku berdiri dan langsung mengajakku masuk ke dalam gedung E FH tepat di depanku berdiri dan duduk di ruang kuliah yang kosong. Ia tidak berkata apapun. Aku pun tidak tahu harus berkata apa.

Terdengar suara berisik di luar gedung memaksa kami untuk keluar dan melihat apa yang terjadi. Sekelompok mahasiswa membawa karton-karton bertuliskan kata-kata, meneriakkan kalimat-kalimat yang menuntut penghentian pemilihan ini karena hasil pemilihan anggota senat dinilai cacat hukum. Ada beberapa aturan yang dilanggar diantaranya rangkap jabatan yang dilakukan oleh beberapa anggota senat.

“Segala keputusan yang dibuat Senat periode ini tidak sah termasuk pemilihan ini,” orasi salah seorang diantara mereka.

Tiba-tiba seluruh badanku terisi kembali dengan semangat. Akhirnya aku bisa keluar dari masalah ini. Ika tampak diantara para pendemo itu. Mungkinkah ia yang merencanakan ini? Kemudian kulihat Sari berlari menemui aku dan Risa.

“Semua terkendali,” lapor Sari singkat.

Aku sungguh lega sampai sekelompok mahasiswa yang datang dari arah berbeda yang menamakan diri sebagai pembela emansipasi wanita. Sari pun terbelalak, iatertunduk lesu, menyandarkan badannya di dinding. Sekelompok mahasiswa menuntut diteruskannya pemilihan dan menyegerakan peghitungan suara setelah waktu pemilihan selesai.

“Pemilihan merupakan bagian dari demokrasi. Hidup demokrasi! Hidup Perempuan!” orasi salah seorang yang berada di barisan paling depan.

Keadaan semakin memanas, lapangan FH lebih ramai dari biasanya. Para satpam pun mulai bersiaga mengantisipasi bentrokan kedua kubu yang berselisihan. Diantara hiruk-pikuk, aku berusaha untuk tetap menegakkan badanku. Kepalaku pusing tubuhku lemas kemudian tubuhku lunglai tak bisa merasakan apapun.
(19092006)
:cerpen jadul nih, pernah dibacain lewat radio.

 (http://www.lilihmuflihah.com/2008/11/by-lilih-muflihah-mungkin-kalau.html)